Rabu, 21 Oktober 2009

KONSEP PERTANIAN INDONESIA

SEJAK awal tahun 1970, paradigma pembangunan pertanian di Indonesia berubah drastis seiring perubahan paradigma pembangunan ekonomi kapitalistis yang bertumpu pada modal besar. Dalam kerangka pembangunan ekonomi saat itu, sektor pertanian tidak lagi ditempatkan sebagai fondasi ekonomi nasional, tetapi dijadikan buffer (penyangga) guna menyukseskan industrialisasi yang dijadikan lokomotif pertumbuhan ekonomi.
Sebagai penyangga, yang terpenting bagi pemerintahan Orba adalah bagaimana mendongkrak produksi pangan dalam negeri tanpa harus berbelit-belit, cepat, dan tidak berisiko secara politik. Pilihan ini sebagai antitesis program land reform di masa Orde Lama (Orla) yang dijadikan landasan utama dalam program pembangunan pertanian semesta. Kebetulan pada saat bersamaan arus global politik-ekonomi dunia memperkenalkan revolusi hijau sebagai lawan dan alternatif revolusi merah.
Orba yang sejak kelahirannya menganut ideologi ekonomi kapitalis cenderung melaksanakan pembangunan pertaniannya melalui by-pass approach (jalan pintas), yaitu revolusi hijau tanpa reformasi agraria (pembaruan agraria). Karena itu, pembangunan di Indonesia oleh Rohman Sobhan (1993) disebut sebagai development without social transition (Wiradi, 1999).
Perubahan paradigma ini menciptakan missing link dalam pelaksanaan pembangunan pertanian dari satu periode ke periode lain. Pertanian tidak lagi dipandang dalam aspek menyeluruh, tetapi direduksi sebagai sekadar persoalan produksi, teknologi, dan harga. Tanah sebagai alas pembangunan pertanian tidak dianggap sebagai faktor amat penting. Persoalan keterbatasan lahan petani yang rata-rata hanya memiliki 0,25 hektar, menurut Syaiful Bahari dari Bimas Ketahanan Pangan, dapat diatasi dengan menempuh non-land based development (Kompas, 17/1/2004), bukan dengan merombak dan menata kembali struktur penguasaan tanah yang lebih adil dan merata melalui reformasi agraria. Cara pandang seperti ini merupakan cermin jalan pintas yang mendominasi kebijakan dan strategi pembangunan pertanian sejak masa Orba hingga sekarang.
Keberhasilan Orba dalam swasembada pangan terutama beras pada tahun 1986 tidak sepenuhnya dapat dipandang sebagai kebenaran paradigma dalam meningkatkan kesejahteraan petani. Beberapa hasil penelitian yang dilakukan Survei Agro Ekonomi (SAE) dan lembaga-lembaga lain menunjukkan, justru di saat produksi beras mencapai titik puncak, jumlah petani gurem kian meningkat dari 50,99-persen menurut Sensus Pertanian 1983-menjadi 51,63 persen tahun 1993 dan berdasarkan sensus tahun 2003 terjadi peningkatan 2,6 persen per tahun. Hasil penelitian di tingkat mikro di beberapa desa memperjelas keterkaitan antara kepemilikan lahan, tingkat kemiskinan, dan kerawanan pangan. Kelompok masyarakat paling miskin dan rawan pangan di pedesaan adalah petani gurem dan buruh tani.
Di beberapa negara seperti China dan Korea Selatan, strategi itu digunakan. Namun, ketika industri telah menghasilkan surplus, sebagian keuntungan dikembalikan lagi ke sektor pertanian. Hal inilah yang tidak terjadi di Indonesia. Kasus Indonesia, setelah pertanian diperas habis lantas ditinggalkan. Surplus industri justru dipakai untuk konsumsi barang mewah, pembangunan properti, dan sebagian lagi dibawa lari ke luar (capital outflow). Pertanian hanya ditempatkan sebagai subordinasi sektor industri sehingga tidak pernah terjadi transformasi sosial-ekonomi di pedesaan maupun tingkat nasional.
Persoalan pangan tidak hanya berkait dengan konsumsi dan produksi, tetapi juga soal daya dukung sektor pertanian yang komprehensif. Ada empat aspek yang menjadi prasyarat melaksanakan pembangunan pertanian:
(1) akses terhadap kepemilikan tanah;
(2) akses input dan proses produksi
(3) akses terhadap pasar;
(4) akses terhadap kebebasan.
Dari keempat prasyarat itu yang belum dilaksanakan secara konsisten adalah membuka akses petani dalam kepemilikan tanah dan membuka ruang kebebasan untuk berorganisasi dan menentukan pilihan sendiri dalam berproduksi. Pemerintah hingga kini selalu menghindari kedua hal itu karena dianggap mempunyai risiko politik tinggi. Kebijakan pemerintah lebih banyak difokuskan
pada produksi dan pasar.
Setelah memasuki era reformasi, di Indonesia telah berdiri puluhan serikat tani di berbagai level. Di luar Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), di tingkat nasional ada organisasi gerakan tani, seperti Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI), Aliansi Petani Indonesia (API), Serikat Tani Nasional (STN), Persatuan Tani Nelayan Indonesia (PETANI) Mandiri, dan Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA). Sekalipun masing-masing punya karakteristik yang berbeda, namun agenda pokoknya sebangun, yakni memperjuangkan reforma agraria sejati di bumi Indonesia.
Bagi bangsa yang baru mengecap kemerdekaan berserikat dan berkumpul- setelah Orde Baru merampasnya lebih kurang 30 tahun, kehadiran berbagai organisasi tani ini ibarat pelita di tengah kemuraman hidup petani Indonesia. Kita telah mafhum bahwa hanya melalui organisasi yang kuat, solid, dan memihak petanilah, maka harapan petani untuk meningkatkan martabatnya sebagai manusia utuh maupun penghasil makanan bagi umat manusia jadi lebih mungkin untuk tercapai.
Dalam usaha mengalihkan konsekuensi-konsekuensi negatif pertanian konvensional, beberapa format sistem pertanian berkelanjutan yang berbeda harus direkomendasikan sebagai alternatif-alternatif untuk mencapai tujuan sistem produksi pertanian yang dapat menguntungkan secara ekonomi dan aman secara lingkungan. Kepentingan dalam sistem pertanian alternatif ini sering dimotivasi dengan suatu keinginan untuk menurunkan tingkat kesehatan lingkungan dan kerusakan lingkungan dan sebuah komitmen terhadap manajemen sumberdaya alam yang berkeadilan. Tetapi kriteria yang paling penting untuk kebanyakan petani dalam mempertimbangkan suatu perubahan usaha tani adalah keinginan memperoleh hasil yang layak secara ekonomi. Adopsi terhadap metode pertanian alternatif yang lebih lebar ini membutuhkan bahwa metode tersebut sedikitnya sama kualitasnya dalam memperoleh keuntungan dengan metode konvensional atau memiliki keuntungan-keuntungan non-keuangan yang signifikan, seperti sebagai usaha menjaga penurunan kualitas sumberdaya air dan tanah secara cepat.
Riset dan pendidikan bergerak terbatas diantara para peneliti atau mahasiswa. Sebagaimana seorang mahasiswa menjadi lebih baik ketika diberikan pendidikan mengenai pengetahuan praktis pertanian berkelanjutan, seperti melakukan investigasi ilmiah pada:
a) peningkatan produktivitas pertanian,
b) produktivitas lahan sentra produksi,
c) mengurangi erosi tanah, kehilangan air dan nutrisi,
d) melakukan konservasi sumberdaya natural dan energi.
Disamping memajukan konsep berpikir mahasiswa tentang konsep pertanian yang harus diterapkan pada pertanian yang ada di Indonesia Mahasisawa juga lebih memiliki minat dan dana akan ditingkatkan untuk mendukung riset selanjutnya. Jaminan peneliti dan ketersediaan dana penelitian ini akan lebih memberikan harapan untuk meningkatkan minat pada pendidikan yang memandu riset selanjutnya secara umum. Penurunan dampak lingkungan akibat usaha pertanian berkelanjutan sebagai sebuah keuntungan yang besar dari meninggalkan usaha pertanian konvensional. Lebih banyak riset yang dilakukan pada pertanian berkelanjutan ini, program-program pendidikan yang lebih baik akan dapat dilaksanakan.
Hari Tani se-Dunia tahun 2008 kemarin hendaknya menginspirasi kita untuk segera menyusun dan menerapkan strategi alternatif pembangunan pertanian yang mengutamakan kaum tani, sekaligus memajukan sektor pertanian keseluruhan. Mengutamakan petani bukan berarti menegasikan kepentingan golongan masyarakat lainnya, melainkan bersinergi secara positif. Memajukan pertanian bukanlah memundurkan sektor lain, tetapi meletakkan pertanian sebagai dasar menuju industrialisasi nasional yang tangguh di hadapan gelombang global.
Salah satu konsep alternatif yang layak dikedepankan menyertai agenda reforma agraria-program negara bersama rakyat dalam menata ulang struktur penguasaan tanah dan pemenuhan berbagai sarana pendukungnya adalah agenda kedaulatan pangan (food sovereignty). Kedaulatan pangan hendaknya menjadi alternatif paradigma ketahanan pangan (food security) yang selama ini menjadi bagian dari konsep pembangunan pertanian konvensional. Makna kedaulatan pangan lebih luas dan dalam ketimbang ketahanan pangan.
Kedaulatan pangan, meminjam La Via Campesina, adalah hak rakyat yang mencakup:
(1) memprioritaskan produksi pertanian lokal untuk memberi makan rakyat, akses petani dan tunawisma atas tanah, air, benih, dan kredit melalui dijalankan landreform dan berbagai program pendukungnya,
(2) hak petani untuk memproduksi makanan dan hak konsumen untuk menentukan apa yang dikonsumsi, bagaimana diproduksi, dan siapa yang memproduksi,
(3) hak sebuah negara untuk melindungi dirinya dari harga pangan dan pertanian impor yang murah,
(4) harga pertanian terkait dengan biaya produksi, misalnya, dengan mengenakan pajak atas impor berlebihan yang murah,
(5) rakyat ikut serta dalam penentuan pemilihan kebijakan pertanian, dan
(6) pengakuan atas hak-hak petani perempuan, yang memegang peran utama dalam produksi pertanian dan pangan (Bonnie Setiawan, 2004, hal 124-125).
Program revolusi hijau gaya Orde Baru dalam berbagai segi telah divonis gagal oleh banyak pihak. Revolusi hijau telah gagal menjadikan kita sebagai bangsa yang berdaulat pangan-terbukti kita menjadi salah satu negara pengimpor bahan pangan terbesar di dunia, sekaligus turut mendemoralisasi kaum tani kita. Model pembangunan pertanian hendaknya direformasi total dengan meletakan reforma agraria plus kedaulatan pangan di atasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar